IKN News, Kutai Barat – Isu Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dan proyek mangkrak di Kabupaten Kutai Barat (Kubar) menjadi sorotan publik. Sejumlah pihak mengkritik pemerintah atas proyek-proyek seperti Jembatan ATJ, Jalan Bung Karno, Pelabuhan Royok, dan Kristen Center yang tak kunjung selesai, sementara akumulasi SiLPA dalam APBD disebut mencapai Rp4,9 triliun dalam enam tahun terakhir.
Meski demikian, beberapa kepala desa (Kades) di Kubar menilai isu tersebut kerap disalahpahami. Salah satunya adalah Kepala Kampung Kalik, Kecamatan Siluq Ngurai, Salo Neri, yang memberikan pandangan lugas terkait masalah ini.
Salo Neri menjelaskan bahwa keberadaan SiLPA tidak selalu berarti pemerintah gagal menggunakan anggaran.
“Jangankan di kabupaten, di desa pun ada SiLPA. Misalnya, jika anggaran dari pusat atau provinsi masuk menjelang akhir tahun, otomatis itu menjadi SiLPA. Anggaran itu tidak hilang, tetapi digunakan lagi di tahun berikutnya,” terang Salo usai pengukuhan perpanjangan masa jabatan kepala kampung di Auditorium ATJ, Kompleks Perkantoran Pemkab, Kamis (21/11/2024).
Menurutnya, dana SiLPA hanya mengendap sementara di kas daerah atau rekening desa dan terus digunakan sesuai kebutuhan setiap tahunnya. “Tidak ada yang disimpan bertahun-tahun. Jadi, salah jika masyarakat mengira uang itu tidak digunakan,” tambahnya.
Salo menilai, banyak masyarakat yang kurang memahami konsep anggaran, sehingga isu ini kerap dimanfaatkan untuk menyerang pemerintah. “Bisa jadi mereka terbawa isu yang tidak jelas atau tidak memahami mekanisme anggaran,. Makanya kita bekerja memang harus patuh terhadap aturan” katanya.
Proyek Mangkrak dan Tantangan Hukum
Salo juga angkat bicara soal proyek mangkrak, seperti Jembatan ATJ dan proyek lainnya. Menurutnya, setiap pemimpin memiliki kewenangan untuk melanjutkan proyek selama tidak ada kendala hukum atau teknis.
“Yang kita tahu, proyek seperti Jembatan ATJ ada masalah hukum. Kalau di desa pun sama, jika saya tidak menyelesaikan proyek di masa jabatan saya, kepala kampung berikutnya belum tentu melanjutkannya. Itu sebabnya kami selalu merancang proyek yang bisa selesai dalam masa jabatan,” jelasnya.
Salo mengajak masyarakat untuk memahami bahwa proyek mangkrak tidak selalu bisa diselesaikan begitu saja. “Masyarakat kadang tahu tapi tidak paham sepenuhnya. Banyak yang terbawa isu tanpa mempelajari akar masalahnya,” tambahnya.
Di tengah tantangan ini, Salo Neri dan beberapa kepala desa berharap masyarakat lebih memahami mekanisme anggaran dan kendala yang dihadapi pemerintah. “Mari kita sama-sama belajar dan mendukung program yang ada, daripada terjebak dalam isu yang belum tentu benar,” pungkas Salo.
Penjelasan Bupati FX. Yapan
Bupati FX. Yapan menegaskan bahwa proyek mangkrak, seperti Jembatan ATJ, seharusnya selesai dalam masa jabatan pemerintah yang memulai proyek tersebut. “Proyek multiyears itu aturannya jelas, tidak boleh melampaui masa jabatan. Jadi, masyarakat sebaiknya bertanya, kenapa proyek itu tidak selesai di masa sebelumnya,” tegas Yapan.
Yapan juga menjelaskan bahwa Pemkab Kubar telah berencana melanjutkan beberapa proyek mangkrak, tetapi terbentur aturan dan saran dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Misalnya, Pelabuhan Royok dan Kristen Center, anggarannya sudah siap, pemenang lelang sudah ada, tapi KPK bilang jangan dilanjutkan karena masih diselidiki. Kalau begitu, siapa yang berani melanjutkan?” ujarnya.
Bupati menekankan bahwa prioritas pemerintah adalah mematuhi aturan hukum. “Niat kita baik, tetapi jika ada risiko hukum, saya tidak mau mengambil risiko. Saya tidak mau niat baik justru berujung masalah,” katanya.
Dengan adanya penjelasan ini, diharapkan diskusi publik tentang SiLPA dan proyek mangkrak di Kubar menjadi lebih proporsional dan berimbang.
(Adv-Kominfo/Kubar).