IKN News, Kutai Barat – Tokoh masyarakat Kutai Barat, Sarmansyah, melontarkan kritik tajam terhadap Aliansi Penyelamat Hutan Kutai Barat (APHKB) yang dinilainya hanya membangun narasi negatif tanpa menawarkan solusi konkret bagi masyarakat.
Kritik ini khususnya ditujukan terhadap sikap APHKB dalam menyikapi persoalan tambang rakyat atau tambang koridor, yang selama ini dianggap sebagai biang kerusakan lingkungan dan penyebab kemiskinan oleh kelompok tersebut.
Sarmansyah menilai, APHKB yang dipimpin oleh H. Abdual Rais (ketua) dan Alsiyus (sekjen), justru kerap membenturkan masyarakat dengan aparat penegak hukum (APH). Padahal, para pemilik lahan dan mayoritas penambang adalah warga lokal Kutai Barat yang berusaha memanfaatkan sumber daya yang tersedia demi menyambung hidup.
“Pernyataan Alsiyus yang memprovokasi masyarakat dan menyudutkan aparat hanya menciptakan kegaduhan. Itu tidak hanya merusak citra penegak hukum, tapi juga bisa memicu keresahan di tengah masyarakat,” ujar Sarmansyah, Sabtu (1/6/2025).
Menurutnya, opini yang dibangun APHKB terkesan provokatif dan tidak berdasar. Hal ini, lanjutnya, bisa melemahkan kepercayaan publik terhadap aparat dan berdampak negatif pada iklim investasi di Kutai Barat.
Sebagai mantan Kepala Adat Kampung Tutung, Sarmansyah menyayangkan sikap APHKB yang dinilai tidak proporsional. Ia menilai bahwa pemerintahan Frederick Edwin yang baru berjalan 100 hari seharusnya mendapat dukungan konstruktif, bukan tekanan sepihak tanpa solusi.
“LSM dan ormas seharusnya membantu dengan data dan riset, bukan hanya menyebar ketakutan. Kalau mau mengkritik, tunjukkan alternatifnya,” tegasnya.
Sarmansyah juga mempertanyakan mengapa APHKB lebih fokus menyoroti tambang rakyat ketimbang perusahaan besar yang justru meninggalkan lubang tambang tanpa reklamasi atau bahkan beroperasi tanpa izin.
“Kalau benar peduli lingkungan, kenapa tidak tuntut pertanggungjawaban perusahaan besar? Kenapa justru menyasar rakyat kecil yang hanya ingin bertahan hidup dari tambang?” katanya.
Terkait isu tambang ilegal, Sarmansyah menilai bahwa akar persoalannya adalah tekanan ekonomi, bukan sekadar soal hukum.
“Kita tidak bisa hanya menyalahkan polisi. Ekonomi sedang sulit, masyarakat butuh penghidupan. Solusinya harus holistik, bukan hanya pendekatan represif,” jelasnya.
Ia menambahkan, penegakan hukum tanpa dibarengi solusi ekonomi hanya akan memindahkan masalah. Banyak penambang rakyat tidak memiliki keterampilan lain, sementara lapangan kerja formal sangat terbatas.
“Penegakan hukum tanpa solusi ekonomi hanya akan memindahkan masalah. Banyak penambang tidak memiliki keahlian lain, sementara lapangan kerja formal di daerah terbatas,” tambahnya.
Sarmansyah bahkan menantang APHKB untuk menyajikan data empiris tentang dampak ekonomi dan lingkungan dari tambang rakyat di Kutai Barat, bukan hanya mengutip data dari instansi lain.
“Kalau mau kredibel, turun ke lapangan. Jangan hanya bikin narasi yang memecah belah,” tegasnya.
Ia juga mendorong ormas dan LSM agar lebih aktif berkontribusi dalam pembangunan daerah.
“Kritik boleh, tapi harus disertai kerja nyata. Jangan hanya menekan tanpa memberi solusi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sarmansyah menyampaikan bahwa meskipun tambang rakyat memang memunculkan kontroversi, aktivitas ini juga memiliki dampak positif yang sering luput dari perhatian. Salah satunya adalah penyediaan lapangan kerja bagi warga lokal, terutama di daerah yang minim industri formal.
“Bagi warga di sini, bekerja di tambang rakyat adalah pilihan terbaik. Tidak semua bisa masuk perusahaan besar, apalagi dengan keterbatasan pendidikan dan akses,” katanya.
Aktivitas tambang rakyat juga ikut menggerakkan ekonomi desa. Pendapatan dari tambang dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari, yang kemudian mendorong pertumbuhan warung, bengkel, toko material, hingga usaha kecil lainnya.
“Sejak ada tambang rakyat, omzet masyarakat meningkat,” tambahnya.
Sarmansyah menyarankan agar pemerintah mendorong pendekatan legalisasi atau formalization terhadap tambang rakyat, melalui pelatihan, perizinan terpadu, dan pendampingan agar aktivitas tersebut berlangsung aman dan berkelanjutan.
“Kita perlu solusi win-win. Bukan melarang, tapi mengatur agar masyarakat tetap punya penghidupan dan lingkungan tetap terjaga,” ucapnya.
Ia menekankan bahwa tambang rakyat bukanlah persoalan hitam-putih. Di balik isu hukum dan lingkungan, terdapat realitas ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Karena itu, upaya pelarangan saja tidak cukup, yang diperlukan adalah integrasi tambang rakyat ke dalam sistem pengawasan yang baik.
Terakhir, Sarmansyah mengajak Alsiyus dan rekan-rekannya untuk berhenti hanya “berkoar-koar” dan mulai aktif membantu pemerintah serta aparat dalam membangun Kutai Barat yang lebih sejahtera dan mandiri.
Sebelumnya, Alsiyus dan APHKB memang kerap menyoroti kerusakan lingkungan akibat tambang koridor, bahkan sempat melaporkan aktivitas tersebut ke APH. Namun penanganan oleh aparat memang tidak mudah, karena di satu sisi ada tuntutan penegakan hukum, dan di sisi lain terdapat tekanan ekonomi dan sosial yang membuat penertiban tambang rakyat menjadi sangat kompleks.