IKN News, Kutai Barat – Calon Bupati Kutai Barat sekaligus mantan Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD), Sahadi, membantah tuduhan bahwa dirinya mangkir dari panggilan sidang kasus dugaan korupsi KWH listrik di Pengadilan Negeri Tipikor Samarinda. Menurut Sahadi, ketidakhadirannya pada sidang yang dijadwalkan Kamis (10/10/2024) disebabkan oleh bentrokan dengan agenda kampanyenya yang sudah terjadwal.
“Kita sudah menyusun jadwal kampanye yang sangat ketat. Semua jadwal sudah kami sampaikan ke kampung-kampung tempat kami akan berkampanye,” jelas Sahadi pada Sabtu (12/10/2024).
Sahadi juga menyatakan bahwa dirinya telah berkonsultasi dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait ketidakhadirannya.
“Kami sudah mengirimkan surat sesuai arahan, jadi tidak benar kalau dikatakan saya mangkir,” tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Sahadi mengungkapkan bahwa dirinya sudah tiga kali diperiksa oleh pihak berwenang sebagai mantan Kepala BKAD. Dia menekankan bahwa peran BKAD dalam kasus ini hanya sebatas pada proses pembayaran anggaran, sedangkan tanggung jawab teknis berada di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, yaitu Dinas Kesra.
“Proses penganggaran berada di tangan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketuai oleh Sekretaris Daerah. BKAD hanya berperan dalam pembayaran, jadi tuduhan bahwa BKAD bertanggung jawab penuh tidak tepat,” tambahnya.
Praktisi Hukum: Pengadilan Harus Dihormati
Secara terpisah, praktisi hukum Yahya Tonang, ketika dimintai tanggapan melalui telepon seluler oleh awak media terkait perkembangan kasus KWH listrik, menjelaskan bahwa setiap pihak yang terkait, termasuk saksi yang dipanggil, pada prinsipnya wajib mematuhi panggilan pengadilan.
“Pengadilan itu di atas segalanya, istilahnya itu wakil Tuhan. Jadi, jika panggilan itu resmi atas perintah hakim dan disertai surat dari Kejaksaan, maka wajib dipatuhi,” tegas Tonang.
Namun, ia juga menambahkan bahwa ada beberapa pengecualian yang bisa diberikan, seperti kondisi saksi yang tempat tinggalnya jauh, sedang sakit, atau tidak diketahui keberadaannya, bahkan jika sedang berada di luar negeri. Situasi-situasi semacam itu bisa ditoleransi.
Praktisi Hukum: Hakim Lakukan “Trobosan Hukum” dalam Kasus KWH Listrik
Hanya saja, menurut Penasehat Hukum kelahiran Kutai Barat itu, menyebut dalam kasus ini ada langkah hukum yang baru oleh Hakim Tipikor Samarinda.
“Tapi kali ini, ada hal yang saya lihat sebagai ‘trobosan hukum’ oleh hakim. Biasanya, pembuktian merupakan kewajiban jaksa yang harus menghadirkan saksi dengan kualitas, bukan kuantitas. Jika dua saksi sudah cukup menjelaskan, maka tidak perlu menghadirkan saksi lainnya,” jelas Tonang.
Dalam kasus KWH listrik ini, Yahya Tonang menilai, ada hal yang tidak biasa ketika hakim memerintahkan jaksa untuk memanggil lebih banyak saksi.
“Saya heran, kenapa hakim kali ini memerintahkan jaksa memanggil saksi tambahan. Karena biasanya, kalau jaksa sudah menghadirkan dua saksi, dan kami pengacara meminta lebih banyak saksi, hakim hanya mengatakan, ‘hak pembuktian itu ada pada jaksa’,” ujar Tonang.
Menurutnya, jika jaksa merasa pembuktiannya sudah cukup, tidak perlu lagi memanggil saksi tambahan. “Dalam perkara ini, saya benar-benar terkejut,” tambah Yahya Tonang.
Kasus Korupsi KWH Listrik
Kasus dugaan korupsi KWH listrik ini diduga merugikan negara sebesar Rp 5,2 miliar dari anggaran Rp 10,7 miliar yang dialokasikan untuk pengadaan 2.028 KWH meter bagi masyarakat miskin di Kutai Barat. Hingga kini, dua terdakwa, yakni mantan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (RH) serta kontraktor penerima hibah (SA), telah diadili di Pengadilan Tipikor Samarinda.
Kris/red